Angin Segar Dari Goodreads

Posted on May 5, 2011 by

9



Festival Buku Depok sejatinya bukan agenda besar di dunia perbukuan tanah air. Para penerbit memasang stand sekenanya saja di atrium pusat belanja Depok Town Square yang tak seberapa luas. Namun di festival ini digelar diskusi dan bedah buku yang bahkan tak ditawarkan festival buku kelas wahid yang diadakan ikatan penerbit.

Adalah komunitas pecinta buku Goodreads Indonesia yang pada 23 April lalu mengadakan diskusi tentang buku dan perempuan bertajuk Dengarlah Suara Perempuan Ini di arena festival ini. Sepekan setelahnya setelahnya klub buku Goodreads Indonesia membedah buku Garis Batas karya Agustinus Wibowo.

Apa istimewanya acara-acara itu? Mayoritas acara di pesta buku ikatan penerbit tak lebih dari peluncuran buku yang kadang tema diskusinya pun dipaksakan karena bisa dibilang isi buku tak terlalu kuat buat didiskusikan selama berjam-jam. Penerbit yang punya buku bagus pun emoh karena ditarik bayaran jika ingin menggelar acara.

Namun diskusi yang masih dalam rangka Hari Kartini itu berbeda. Mereka menghadirkan novelis lintas penerbit Leila S. Chudori (9 Dari Nadira, Kepustakaan Populer Gramdia) dan Ida Ahdiah (Teman Empat Musim, Bentang). Ditambah Ika Agustina yang aktivis organisasi pemerhati masalah perempuan, Kalyanamitra, diskusi jadi lebih hidup. Ini bukan acara bedah buku dengan deretan pembicara mengumbar puja dan puji soal karena mereka takut menyinggung penerbit yang “mengupahnya”.

Karena Goodreads juga lebih paham seluk-beluk perbukuan daripada event organizer, dengan cepat mereka menangkap kepulangan penulis perjalanan di Asia Tengah, Agustinus Wibowo, ke tanah air. Agustinus yang menetap di Beijing, Cina, diminta mempir ke Depok dan membedah bukunya. Agustinus juga mereka boyong ke Yogyakarta dan Surabaya. Diskusi ini pun memperoleh momentumnya karena buku-buku travel memang tengah jadi primadona di pasar.

Sejak Desember tahun lalu Goodreads mulai menunjukkan tajinya. Saat itu mereka mengadakan Festival Pembaca Indonesia pertama yang dipadati acara-acara yang menarik. Puncaknya adalah pemberian penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia.

Penghargaan itu memberi angin segar bagi dunia perbukuan saat Adiwarta Ikapi mati suri. Ini bukan penghargaan seperti di Islamic Book Fair yang nominenya berasal dari buku-buku yang diajukan penerbit beserta beberapa eksemplar buat dibaca oleh juri. Bahkan lebih dari penghargaan bergengsi Khatulistiwa Award yang disponsori penerbit, Goodreads juga membuka kategori desain sampul terbaik yang juga berperan besar dalam sukses sebuah buku.

Namun di balik gebrakan-gebrakan itu, Goodreads Indonesia masih punya pekerjaan rumah. Berbagai fitur situs belum dimanfaatkan secara optimal oleh anggotanya. Sebagian anggota sekedar berbagi informasi buku yang sedang dibaca dan setelahnya sebatas memberi rating sekian bintang. Ruang-ruang menulis resensi belum terlalu diminati.

Tantangan lainnya adalah kutukan KOPDAR alias KOPi darat lalu moDAR. Ini banyak menimpa banyak komunitas dunia maya. Korban terakhirnya adalah komunitas sastra fiksimini yang lesu setelah banyak digelar acara kopi darat yang semestinya justru menghasilkan sinergi. Jika ke depannya anggota Goodreads Indonesia tidak lantas agin-anginan dan para pengurusnya tak masuk angin, maka mereka bisa menghembuskan harapan baru buat dunia perbukuan dan penerbitan tanah air.

BACA JUGA:

Posted in: kolom